Di sela rutinitas kerja, Senin, 10 Sept 07, 09:50
Kemarin hari minggu saya di rumah saja, tidak ada aktivitas keluar. Saya sempat menonton berita kriminal sore hari, saya lupa nama acaranya, entah apa pokoknya semacam sergap atau patroli.
Seperti biasa, dari informasi berita2 tersebut, kita bisa menerka-nerka sendiri entah ada berapa banyak kejahatan yang terjadi di muka bumi Indonesia ini dalam sehari saja, seperti perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan kapan saja bisa terjadi dimana-mana.
Kasus yang kemarin cukup saya perhatikan adalah soal pembuhan terhadap seorang gadis 18 th di daerah Citayam Bogor oleh seorang aparat kepolisian. Di tengah malam seorang gadis berdiri dengan sebuah motor di depan kantor Polres sedang menunggu saudara laki2nya untuk membeli bensin, karena motor sudah mogok jadi di tinggal. Tiba2 seorang petugas yang tadi mengantar saudara laki2nya untuk mencari bensin datang, mengatakan bahwa saudara laki2nya tadi meminta dia untuk menjemput dan mengantarkan si gadis untuk menyusul ke tempat pembelian bensin. Setelah petugas memberikan alasan yang cukup meyakinkan, si gadis tentu saja percaya dan akhirnya ikut membonceng motornya. Di tengah jalan sepi, motor berhenti karena si petugas tersebut menerima panggilan dari telepon genggamnya. Setelah selesai berbicara, entah setan mana yang merasuk dalam diri sang petugas, dia berniat untuk menggagahi si gadis.. Si gadis berontak dan mencoba lari sambil mengancam akan melaporkan tindakan petugas tersebut ke aparatur kepolisian. Tanpa perlawanan, sang petugas langsung mengeluarkan pistolnya dan... Dor !!! peluru menembus dada, si gadis langsung tersungkur tewas tak berdaya.
Hmmm…. serem… Menakutkan memang, kejahatan dapat sewaktu-waktu mengintai seorang wanita. Saya jadi teringat dengan beberapa saat-saat yang mungkin bisa dikatakan “mencekam” yang pernah saya alami.
Pertama
Ketika saya masih kuliah dulu, sekitar th 2000-an. Saya pernah pulang ke bandung kebetulan dapat kereta yang jam terakhir dari sta. gambir. Sampai di sta. Bandung sekitar jam 11 malam. Saya hanya membawa sebuah tas punggung yang cukup penuh terisi perbekalan makanan dari rumah. Perjalanan dari stasiun sampai ke kost-an saya sekitar 1 jam-an, harus naik 3 kali angkot lagi. Di kereta saya dapat teman ngobrol, sebelum keluar dari stasiun menuju terminal, dia mengajak saya untuk mampir makan sate kambing dulu yang ada di luar stasiun. Saya menolak dengan alasan sudah terlalu malam, takut nanti tidak ada angkot lagi. Sepanjang jalan di daerah stasiun, pasar baru, buah batu, sampai dayeuh kolot terlihat sepi sekali, hanya ada 1 atau 2 org saja yang masih lalu lalang. Selama di perjalanan di dalam angkot pun, saya lebih sering sendirian, hanya dengan pak supir.. Perasaan saya saat itu tidak takut, hanya pasrah dan berdoa semoga Allah melindungi saya, dan saya berharap cepat segera sampai kost-an. Alhamdulillah org2 yang saya temui sepanjang jalan ramah2, baik2 memperlakukan saya.. (org2 bandung memang lbh halus ucapannya dalam memperlakukan org lain, misalnya di angkot atau di tempat2 umum… beda sama di Jakarta yang kadang kasar2..)
Kedua
Masih ketika saya kuliah dulu, saya sering sekali pulang ke Jakarta malam2 dari bandung, karena saya pikir tidak masalah kalaupun saya tiba di terminal kampung rambutan terlalu larut, toh sudah di kota sendiri ini, lagipula biasanya ada keluarga saya yang akan menjemput. Pernah suatu kali saya tiba sampai terminal kampung rambutan jam 12-an malam. Tumben jam segitu kampung rambutan sudah lebih sepi dari biasanya. Tidak ada 1 kios buah pun yang masih buka. Saya duduk menunggu jemputan di tempat biasanya, di depan sebuah kios buah yang sudah tutup dekat tempat parkiran motor, dan kebetulan di situ ada kursi kayu panjang. Tidak ada org sama sekali di daerah itu, saya duduk sendirian. Tiba2 dari arah yang tidak jauh datang seorang laki2 muda menuju ke arah saya. Perasaan saya cukup takut saat itu, karena sebelumnya sudah biasa terdengar di berita2 ttg kasus2 penodongan atau pembunuhan oleh para preman di wilayah terminal kampung rambutan. Laki2 itu saya perkirakan berumur 26an th dengan penampilan layaknya preman, dengan tampang dan logat Ambon yang masih kentara. Saya tidak tau pasti apakah dia preman sini atau bukan. Dia langsung menyapa saya kemudian ikut duduk di sebelah saya.
“Sendirian mbak..?? Nunggu jemputan ya..??” Sapanya
“Iya mas, saya lagi nunggu di jemput.. Mas menunggu siapa??” Saya balas bertanya
Dan… bla.. bla.. bla.. percakapan kami trs berlanjut. Pertanyaan2nya memang awalnya bernada menyelidik. Dalam kondisi seperti ini awalnya saya bersikap waspada, tapi saya juga tidak ingin bersikap ketus dan cuek, sehingga terkesan cewek sombong, saya berusaha untuk positive thinking saja. Saya coba seramah mungkin menjawab pertanyaan2nya, dan juga merespon kata2nya dengan berbalik bertanya.. Dan setelah kurang lebih 15 menit, percakapan kami jadi hangat, akhirnya saya merasa nyaman dan tidak ada rasa takut lagi. Dia malah antusias menceritakan ttg banyak hal, termasuk ttg keluarganya, dan sekolahnya dulu. Dia juga mengaku kalau dia juga seorang muslim dan berasal dari Ambon..
Tak terasa kami sudah ngobrol banyak, sampai akhirnya setengah jam kemudian Ayah saya datang. “Tuh mas jemputan saya sudah datang. Saya duluan ya” Pamit saya…
“Iya Mbak, terima kasih.. Ati-ati..” balasnya.
Ketiga
Setahun yang lalu ketika saya kembali dari Sentani berlibur ke rumah Om saya. Pesawat saya take off dari bandara Sentani sekitar jam 16.00 WIT. Transit di Biak dan Makasar, tiba di bandara Soekarno Hatta jam 21.00 WIB, keluar airport, nunggu ambil bagasi sampai jam 21.30. Saya keluar melalui arrival gateway dengan membawa 1 buah travel bag ukuran sedang, dan 1 buah tas pinggang.
Seperti biasa banyak calo dan supir taksi langsung datang menyerbu. Dalam kondisi seperti ini saya langsung pasang wajah judes dan ketus, tidak ada yang saya layani sama sekali semua tawaran mereka. Saya jalan lurus tanpa menghiraukan kejaran mereka menuju ke luar lobby depan. Saya lihat ada seorang sopir taksi yg tadi juga sempat saya tolak, masih mengamati saya dari kejauhan. Tapi saya bersikap sok cuek, saya tak mau balas melihatnya.
Saya mencari tempat yang lebih sepi supaya nyaman dan berharap saya melihat ada taksi ‘tarif lama’ yang lewat. Saya enggan juga kalau ambil taksi yang sedang ngetem berjajar disitu, karena kita juga hrs bayar charge bandara-nya Rp.25ribu.
Melihat saya yg masih tetap berdiri sendiri belum mendapatkan taksi, akhirnya si sopir taksi yg dari td sudah mengamati saya dari kejauhan mendekat, dia langsung memegang travel bag saya.
“Pulangnya kemana sih mbak..?” Tanyanya
“Ragunan” Jawab saya
“Ayo.. ayo… biasalah ragunan. Ini ID Card saya, kalau mbak ngak percaya.. Di jamin kok.. aman..!! aman..!!” lanjutnya sambil menunjukan ID Card nya lalu menarik travel bag saya. Dalam hati saya “tumben baru kali ini gue dapat sopir taksi pake ngasih tau ID Card nya segala..”
Saya tidak terlalu perhatikan apa nama taksi yang tertera dalam logo di bagian atas ID Cardnya tersebut. Saya yang dalam kondisi agak lelah nurut saja, saya ikuti sopir taksi itu, ternyata menuju parkiran di halaman bandara.
Sampai di mobilnya karena agak gelap jauh dari lampu lapangan parkir, sedikit saya agak bertanya2 heran dalam hati “kok mobilnya hitam sich, apa taksi silver bird kali yah…”
Sopir taksi itu langsung memasukkan travel bag saya ke bagasi. Dia lalu mempersilahkan saya duduk. Saya langsung masuk memilih duduk di depan disebelah sopir. Dalam keadaan yg menurut saya agak ‘ganjil’ seperti ini, saya mulai waspada. Saya amati sekeliling saya dengan seksama. Saya menengok ke bangku belakang. Spontan dalam hati saya agak kaget bertanya2, “Loh kok ada cewek nya ??”. Belum sempat saya berkata, si sopir taksi langsung ngomong “Oh ini si Mbak nya juga mau ikut sekalian, nanti dia turun di Blok A”. Di kursi belakang sudah ada seorang perempuan muda sendirian dengan pakaian yang cukup rapi, saya taksir kira2 umur 25-an th.
Sengaja saya diam dulu. “Apa hubungannya Blok A sama Ragunan, aneh nich” gumam saya curiga campur kesal dalam hati. Lalu saya amati lagi bagian depannya.
“Loh kok argo nya mana Pak..?” Tanya saya, karena saya lihat di situ tidak ada alat semacam argonya.
“Ngak Usah pake argo mbak, biasalah Ragunan kan, 200ribu” Jawabnya
“Ah.. apaan sich, biasanya juga cuma 100ribu” balas saya
Otakku berpikir keras, sangat waspada, “wah ada yang ngak beres nich, lanjut..?? turun..?? lanjut..?? turun..? lanjut..? turun..? Hmmmm… ” Aku diam sejenak untuk berpikir sambil mengamati situasi, sang sopir taksi melajukan mobilnya menuju pintu keluar parkiran.
Pikiran negatif ku mulai muncul. Dalam batin aku bicara sendiri. “Wah bisa2 di jalan yang sepi gue di rampok nich terus diperkosa. Mana aneh pula.. mana ada 1 taksi 2 penumpang. Jangan2 mereka kerjasama nich, si sopir sama cewek yg duduk di belakang.”
Mobil terus melaju, sampai akhirnya keluar dari lapangan parkir. Langsung spontan saat itu juga “Pak, tolong dong stop.. Keluarin tas saya dari bagasi !!!!” Suara saya agak sedikit keras.
“Loh mbak, ngak bisa gitu.. Kalau mbak mau batal, harus bayar charge nya” balasnya
“Ngak mau !!!” Saya langsung keluar membuka pintu, lalu agak berteriak “Tolong buka pintu bagasinya !!!”
Pintu bagasi belakang terbuka, langsung saya ambil tas saya. Sang sopir taksi ikut turun, “Kalau mau batal sesuai aturan mbak harus bayar charge nya dulu dong..!!!” Katanya lagi.
“Eh pak..!!! Tadi siapa yang nyuruh narik2 tas saya. Dari tadi saya juga ngak mau naik taksi situ.. Situ nya aja yang narik2 tas saya.” Suara saya ber-emosi agak keras… Tanpa mengulur waktu langsung saya tinggalkan mereka.. saya berlalu tanpa mengindahkan apa reaksinya, sambil menarik travel bag saya menuju ke lobby bandara lagi.
Akhirnya tidak lebih dari 10 mnt kemudian saya men-stop taksi yang lewat, sopirnya seorang bapak2 tua. “Ke arah Ragunan ya Pak” kataku. “Iya mbak” Jawab bapak sopir taksi itu. Saya tiba di rumah pukul 23.15an, keluarga saya sudah menunggu dari tadi.
Keempat
Peristiwa ini ketika saya sedang berada di dalam taksi menuju Sarinah dari kantor saya. Sebenarnya jarak kantor – Sarinah sangat dekat, tetapi karena saat itu sedang rintik2 hujan dan kendaraan umum juga susah, akhirnya saya naik taksi. Karena sepanjang Jl. Thamrin macet total, akhirnya taksi putar arah melalui Jl. Kebon Sirih. Kebetulan saya mendapatkan taksi dengan sopir yang cukup ramah dan banyak ngomong, sehingga suasana didalam mobil tidak hening, di tengah kebisingan lalu lintas diluar yang padatnya luar biasa saat itu. Saya duduk di bangku belakang, sambil berbincang2 dengan sang sopir, di tengah perjalanan laki2 disebelah saya mencoba berkali-kali menyentuh tangan saya, dan ingin mencium pipi saya. Tapi dengan tangkas saya dapat menepis untuk menghindar dari sentuhannya. Entah mengapa saat itu sama sekali tidak ada rasa takut, mungkin juga karena saya pikir diluar cukup ramai, dan lagipula jarak perjalanan tidak jauh.
Setelah kejadian itu berlalu beberapa hari, sempat saya berpikir sebenarnya bisa saja laki2 tersebut mendekap saya, apalagi dengan kondisi tubuh saya yang jauh lebih kecil darinya, tentu saja saya tidak bisa berkutik. Kemudian berniat memperkosa saya dan si sopir taksi diajak bekerja sama putar arah ke tempat yang lebih memungkinkan.. Naudzubillah mindzalik.. Ya Allah lindungilah aku selalu.. Janganlah Engkau biarkan makhluk-Mu menyakitiku atau mengancam keselamatan jiwaku..