Monday 11 February 2008

Ibu


Semalam aku membaca sebuah buku yang di pinjamkan temanku, kumpulan cerpen tentang kejadian sehari-hari yang banyak mengandung hikmah dan bahan perenungan. Ada sebuah bab yang temanya tentang “Ibuku Anugerah Terindah”. Inti dari semua cerita-cerita pendek tentang ibu di situ adalah penulis menceritakan kemuliaan seorang ibu sebagai sumber cinta dan kasih sayang bagi anak-anaknya, yang dengan pengorbanannya yang luar biasa sejak mengandung hingga membesarkan anak-anaknya. Dalam cerita-cerita di situ digambarkan seorang ibu yang tulus bekerja keras dari pagi hingga malam hanya demi untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya tanpa pernah mengeluh kelelahan. Seorang ibu yang selalu basah matanya dalam untaian doa-doa berharap anak-anaknya kelak menjadi manusia-manusia yang dapat membanggakannya sebagai orang yang melahirkan mereka. Dan seorang ibu yang selalu menjadi sumber kasih sayang yang kehangatannya selalu di nanti-nantikan oleh anak-anaknya ketika sang anak jatuh sakit, yang selalu membesarkan hati anak-anaknya ketika sang anak mengalami kegagalan, dan yang selalu berusaha memenuhi semua permintaan anak-anaknya meski di kondisi sesulit apapun.

Ada beberapa cerita yang membuat mataku berkaca-kaca, kebetulan memang aku orang yang agak sensitif dan halus perasaannya. Aku ngiri dengan apa yang dirasakan penulis, kekaguman dan kecintaannya pada sosok sang ibu yang luar biasa. Ibunya di gambarkan sebagai seorang wanita yang sangat sabar dalam melayani dan mengurus anak-anaknya. Tidak pernah pula menampakan kemarahan pada anak-anaknya walaupun dalam keadaan kelelahan yang teramat.

Aku sedih aku tidak sepenuhnya bisa merasakan seperti apa yang di rasakan penulis. Atau hanya dalam cerita-cerita sajakah kemuliaan dan ketangguhan seorang ibu bisa sesempurna itu ?? Aku sendiri belum pernah menjadi seorang ibu. Dan aku juga tidak tahu apakah kelak aku juga akan bisa menjadi seorang ibu yang super tangguh seperti di cerita-cerita tersebut. Hanya saja aku pernah mendengar dari beberapa teman-teman perempuanku yg sudah mempunyai anak “Nanti dulu deh kalo mau nambah anak lagi, baru satu aja aku masih suka ngak sabaran..” Memang dibutuhkan energi yang serba extra dalam menjalankan peran seorang ibu.

Aku tidak tahu salahkah aku, jika aku tidak begitu mengagumi dan mencintai Ibuku 100 %. Aku pernah merasakan semuanya, kasih sayang ibu yang tanpa kusadari selalu menyertai di setiap hari-hariku. Juga aku merasakan pengorbanan dan kerja keras yang luar biasa darinya demi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanku terutama ketika aku belum bekerja sendiri, hingga aku bisa seperti sekarang ini.

Tetapi di satu sisi aku juga mendapatkan sesosok ibu yang menakutkan, yang membuatku malas untuk mendekat padanya ketika aku sedang terpuruk atau ketika aku sedang bersedih kesepian. Ibu yang kata-katanya tajam membekas di ingatan, dan bahkan menyisakan luka lebam di lubuk hati yang paling dalam.

Ibu yang tidak selalu mendukung setiap keingananku jika kurang berkenan di dirinya, yang akhirnya membuatku selalu menyalahkannya mengapa ia dulu tidak pernah mendukungku, tapi justru menentang dan menghalang-halangi niatku.

Ibu yang membuatku berubah dari sosok gadis kecil yang cengeng, yang siap menangis kapan saja ketika terguncang, menjadi sosok wanita kebal tanpa rasa. Bekas sayatan-sayatan kata-katanya membuat lapisan keras membatu yang menyelimuti jiwa dan hatiku yang pada dasarnya begitu lembut. Yang membuat aku semakin terbiasa tegar tanpa rasa menghadapi cacian dan makian dari seluruh makhluk di muka bumi ini.

Seperti yang tidak sedikit juga kita temui, anak-anak wanita dewasa lebih bahagia menghabiskan waktu untuk berbagi bersama kekasih atau pasangan hidupnya, ketimbang dengan orang tuanya. Atau bisa jadi kekasih/pasangan hidupnya sebagai curahan segala masalah atas ketidakbahagiaan yang ia rasakan di rumah orang tuanya.

Tapi aku tidak mau ambil pusing tentang itu lagi. Aku ingin hidup bahagia, menyusun rencana kehidupan dengan kesabaran dan ketenangan. Aku hanya ingin mencari orang-orang yang bisa membuatku merasakan tentram dan damai. Aku senang orang-orang yang selalu menjaga kelembutan tutur katanya, yang selalu merekahkan senyuman apapun kondisi hatinya. Aku tidak ingin menangis lagi, dan memang sekarang aku sudah tidak gampang menangis lagi, kecuali menangis ketika bersimpuh menghadapkan wajah kepada Allah, memohon atas segala pertolongan kepada Yang Maha Perkasa dan Maha Berkehendak.

Sebenarnya aku tidak membutuhkan apa-apa, sedikit sapaannya itu sudah cukup menenangkan bagiku. Seperti tadi pagi suaranya membangunkanku untuk segera bersiap-siap berangkat ke kantor. Atau kemarin tegurannya menyusup masuk ke kamarku, mengingatkanku untuk segera makan malam, karena dilihatnya aku hampir segera terlelap tidur sepulang dari bekerja karena lelah. Atau sentuhan tangannya di kakiku saat badanku demam beberapa hari yang lalu. Semua itu sudah cukup menenangkan hatiku.